BAB
1
PENDAHULUAN
A.
Latar belakang
Test ELISA atau Western Blot yang pada umumnya dipakai untuk mendiagnosa
infeksi HIV hanya bisa mendeteksi interaksi antara protein dan antibodi yang diperkirakan
berhubungan dengan HIV. Keduanya tidak bisa mendeteksi HIV itu sendiri. Dan
bertentangan dengan pandangan umum, test “viral load” yang lebih baru tidak
bisa mengukur tingkat aktual virus dalam darah.
Semua test antibodi HIV sangat tidak akurat. Satu alasan bagi
ketidakakuratan tersebut adalah berbagai jenis virus, bakteri, dan antigen
lainnya dapat menyebabkan sistem imun untuk membuat antibodi yang juga bereaksi
sama dengan HIV. Ketika antibodi dihasilkan sebagai respon atas reaksi infeksi dari
bakteri dan virus ini, serta antigen-antigen yang ada kemudian
dihubung-hubungkan dengan protein HIV, maka akan keluar hasil yang positif.
Banyak antibodi yang ditemukan di dalam tubuh orang-orang sehat dan normal
dapat menyebabkan hasil yang positif pada test antibodi HIV. Produksi antibodi
dalam tubuh manusia yang terjadi karena infeksi virus bisa tetap ada dalam
tubuh selama bertahun-tahun walaupun sistem imun telah mengalahkan virus
tersebut, dan bahkan bisa untuk seumur hidup antibodi tersebut tetap ada.
Dengan demikian, orang-orang sehat yang tidak pernah terjangkit HIV bisa
memiliki hasil test HIV yang positif secara konsisten selama bertahun-tahun
atau bahkan untuk seumur hidup mereka.
Suatu tes antibodi baru bisa disebut akurat yaitu dengan cara membuktikan
bahwa hasil positif benar-benar telah ditemukan dalam tubuh orang yang
benar-benar memiliki virus tersebut. Standar seperti ini untuk menentukan
keakuratan test, tidak pernah ditetapkan di tahun 1984, yaitu masa dimana test
antibodi HIV pertama kali diciptakan. Bahkan sampai sekarang ini, hasil positif
ELISA baru bisa disahkan oleh test antibodi kedua yang juga tidak akurat, yaitu
test HIV Western Blot .
BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi Western blot
Western
blot adalah proses pemindahan protein dari gel hasil elektroforesis ke membran.
Membran ini dapat diperlakukan lebih fleksibel daripada gel sehingga protein
yang terblot pada membran dapat dideteksi dengan cara visual maupun
fluoresensi. Deteksi ekspresi protein pada organisme dilakukan dengan prinsip imunologi
menggunakan antibodi primer dan antibodi sekunder. Setelah pemberian antibodi
sekunder, deteksi dilakukan secara visual dengan pemberian kromogen atau secara
fluoresensi. Pada deteksi secara fluoresensi, reaksi antara antibodi primer
dengan antibodi sekunder akan memberikan hasil fluoresens yang selanjutnya akan
membakar film X-ray, deteksi ini dilakukan di kamar gelap.
Western blot adalah sebuah
metode biologi molekuler untuk menentukan keberadaan sebuah protein dalam
sebuah jaringan atau sebuah homogenat dari sebuah jaringan.
Western blot mengidentifikasi antibodi spesifik pada protein yang telah
dipishkan antara satu dengan yang lain menurut ukuran nya lewat elektroforesis
gel. Blot merupakan sebuah membran, biasanya berbahan dasar nitroselulose atau
PVDF (Polyvynilidine fluoride). Gel diletakkan di pada membran dan adanya
aliran listrik menginduksi protein pada gel untuk berpindah pada membran yang
dilekatkan. Membran tersebut kemudian merupakan replika dari pola protein pada
gel yang kemudian diwarnai secar sekuensial dengan antibodi. Prosedur western
blot terdiri dari preparasi sampel, elektroforesis gel, transfer dari gel ke
membran, dan imunostain dari blot tersebut.
Western blot dikenal sebagai teknik yang sangat baik dan digunakan secara luas
untuk mengidentifikasi dan mengkuantifikasi protein yang spesifik dalam
campuran yang kompleks. Teknik ini memungkinkan deteksi tidak langsung atau
indirek dari sampel protein yang diimobilisasi pada nitroselulose atau membran
PVDF. Pada western blot yang konvensional, sampel protein terlebih dahulu di
running dengan SDS – PAGE dan secara elektroforesis ditransfer ke membran.
Setelah langkah blocking, membran di probe dengan antibodi primer baik
monoclonal maupun poliklonal yang jumlahnya meningkat dibanding antigen.
Setelah pencucian yang sekuensial, membran kemudian diinkubasi dengan antibody
sekunder yang dikonjugasi dengan enzim yang sifatnya reaktif terhadap antibodi.
Aktivitas dari enzim seperti alkaline phospatase (AP) dan horseradish peroxidase
(HRP) yang penting untuk
Western blotting merupakan teknik yang digunakan untuk mengidentifikasi dan
memposisikan protein berdasarkan kemampuannya untuk berikatan dengan antibody
yang spesifik. Analisis western blot dapat mendeteksi protein yang diinginkan
dari campuran dari protein dalam jumlah besar. Western blot dapat memberikan
informasi tentang ukuran dari protein (dengan perbandingan dengan ukuran marker
dalam satuan kilodalton dan juga memberi informasi tentang ekspresi protein
(dengan perbandingan dengan kontrol seperti pada sampel yang tidak diberi
perlakuan atau sel atau jaringan tipe lain).
Metode dari westrn blot.
1.
Penyiapan
sample dan pemberian antibodi antiprotein
Langkah-langkah dalam
Western Blot :
1) Menyiapkan sampel yang akan diteliti, apakah itu limfosit T atau fibroblas ataupun sel darah tepi. Sampel harus dijaga tetap dingin.
2) Menyiapkan buffer agar pH dapat berada pada jangkauan yang stabil.
3) Menyiapkan antibodi yang akan digunakan sebagai pelacak
Monoklonal antibodi maupun poliklonal antibodi dapat digunakan
a. Antibodi monoklonal adalah yang lebih baik digunakan, karena :
• Sinyal yang lebih baik
• Spesifisitas yang lebih tinggi
• Hasil yang lebih jernih pada proses pembuatan film western blot
b. Antibodi Poliklonal
- Mengenali lebih banyak epitop
4)Melisis Sel
Kita perlu melisis sel untuk mengeluarkan protein yang diinginkan dari sel. Untuk melisis sel dapat digunakan detergen SDS dan RIPA. Bila yang diinginkan
1) Menyiapkan sampel yang akan diteliti, apakah itu limfosit T atau fibroblas ataupun sel darah tepi. Sampel harus dijaga tetap dingin.
2) Menyiapkan buffer agar pH dapat berada pada jangkauan yang stabil.
3) Menyiapkan antibodi yang akan digunakan sebagai pelacak
Monoklonal antibodi maupun poliklonal antibodi dapat digunakan
a. Antibodi monoklonal adalah yang lebih baik digunakan, karena :
• Sinyal yang lebih baik
• Spesifisitas yang lebih tinggi
• Hasil yang lebih jernih pada proses pembuatan film western blot
b. Antibodi Poliklonal
- Mengenali lebih banyak epitop
4)Melisis Sel
Kita perlu melisis sel untuk mengeluarkan protein yang diinginkan dari sel. Untuk melisis sel dapat digunakan detergen SDS dan RIPA. Bila yang diinginkan
adalah
sebuah protein yang terfosforilasi, maka perlu ditambahkan inhibitor fosfatase
agar gugus fosfat pada protein tersebut tidak dibuang. Cara melisis :
sentrifuge dan ambil pellet yang terbentuk. Jaga agar tetap dingin dengan
menggunakan kotak es. Tambahkan buffer lisis, lalu kumpulkan dalam tabung
eppendorf, jaga agar tetap dingin.
5)
Gel Elektroforesis
Gel yang biasa dipakai misalnya SDS-PAGE (sodium dodecyl sulfate- polyacrylamide gel electrophoresis) untuk memisahkan protein berdasarkan ukurannya dengan adanya arus listrik. Akrilamid 10% juga ditambahkan. Kerja SDS-PAGE ini adalah dengan mendenaturasi polipeptida setelah terlebih dahulu polipeptida tersebut dibuang struktur sekunder dan tersiernya. Sampel terlebih dahulu dimasukkan ke dalam sumur gel. Satu jalur biasanya untuk satumarker. Protein sampel akan memiliki muatan yang sama dengan SDS yang negatif sehingga bergerak menuju elektroda positif melalui jaring-jaring akrilamid. Protein yang lebih kecil akan bergerak lebih cepat melewati jaring-jaring akrilamid. Perbedaan kecepatan pergerakan ini akan terlihat pada pita-pita yang tergambar pada tiap jalur.
6) Transfer GelGel yang biasa dipakai misalnya SDS-PAGE (sodium dodecyl sulfate- polyacrylamide gel electrophoresis) untuk memisahkan protein berdasarkan ukurannya dengan adanya arus listrik. Akrilamid 10% juga ditambahkan. Kerja SDS-PAGE ini adalah dengan mendenaturasi polipeptida setelah terlebih dahulu polipeptida tersebut dibuang struktur sekunder dan tersiernya. Sampel terlebih dahulu dimasukkan ke dalam sumur gel. Satu jalur biasanya untuk satumarker. Protein sampel akan memiliki muatan yang sama dengan SDS yang negatif sehingga bergerak menuju elektroda positif melalui jaring-jaring akrilamid. Protein yang lebih kecil akan bergerak lebih cepat melewati jaring-jaring akrilamid. Perbedaan kecepatan pergerakan ini akan terlihat pada pita-pita yang tergambar pada tiap jalur.
Agar protein tersebut dapat diakses oleh antibodi, maka protein tersebut harus dipindahkan dari gel ke sebuah kertas membran, biasanya nitroselulosa atau PVDF. Membran ini diletakkan di atas gel, dan tumpukan kertas penyerap diletakkan di atasnya. Larutan buffer kemudian akan merambat ke atas melalui reaksi kapiler dengan membawa protein-proteinnya.
Cara lain untuk mentransfer protein adalah dengan menggunakan teknik elektroblotting. Teknik ini menggunakan arus listrik untuk menarik protein dari gel ke membran.
Selain itu, diperlukan pula sebuah prosedur untuk mencegah terjadinya interaksi antara molekul-molekul yang tidak diinginkan agar hasil yang diperlukan lebih jernih (to reduce ‘noise’). Caranya adalah dengan menempatkan membran pada BSA (Bovine serum albumin) atau non-fat dry milk dengan sedikit detergen tween 20 sehingga serum tersebut akan menempel pada pada daerah yang tidak ditempeli protein sampel. Hal ini
bertujuan
untuk membuat antibodi hanya akan dapat menempel pada binding site protein
target. Setelah itu, barulah membran dengan protein sampel tersebut diinkubasi
dnegan antibodi.
7)
Deteksi
Deteksi dilakukan dengan antibodi yang telah dimodifikasi bersama dengan sebuah enzim yang disebut reporter enzyme. Proses deteksi biasanya berlangsung dalam dua tahap, yaitu :
a. Antibodi Primer
Antibodi yang digunakan di sini adalah antibodi yang pertama kali dihasilkan sistem imun ketika terpajan protein target. Antibodi terlarut kemudian diinkubasi bersama kertas membran paling sedikit selama 30 menit.
b. Antibodi Sekunder
Setelah diinkubasi bersama antibodi primer, kertas mebran dibilas terlebih dahulu barulah diinkubasi dengan antibodi sekunder. Antobodi sekunder adalah antobodi yang spesifik untuk suatu spesies pada antibodi primer. Misalnya, anti-tikus hanya akan berikatan pada antibodi primer yang berasal dari tikus. Antibodi sekunder biasanya berikatan dengan enzim reporter seperti alkaline fosfatase atau horseradish peroxidase. Antibodi sekunder ini kemudian akan menguatkan sinyal yang dihasilkan oleh antibodi primer.
Sekarang, proses deteksi dapat dilakukan dengan satu langkah saja, yaitu dengan menggunakan antibodi yang dapat mengenali protein yang diinginkan sekaligus memiliki label yang mudah dideteksi
8) AnalisisDeteksi dilakukan dengan antibodi yang telah dimodifikasi bersama dengan sebuah enzim yang disebut reporter enzyme. Proses deteksi biasanya berlangsung dalam dua tahap, yaitu :
a. Antibodi Primer
Antibodi yang digunakan di sini adalah antibodi yang pertama kali dihasilkan sistem imun ketika terpajan protein target. Antibodi terlarut kemudian diinkubasi bersama kertas membran paling sedikit selama 30 menit.
b. Antibodi Sekunder
Setelah diinkubasi bersama antibodi primer, kertas mebran dibilas terlebih dahulu barulah diinkubasi dengan antibodi sekunder. Antobodi sekunder adalah antobodi yang spesifik untuk suatu spesies pada antibodi primer. Misalnya, anti-tikus hanya akan berikatan pada antibodi primer yang berasal dari tikus. Antibodi sekunder biasanya berikatan dengan enzim reporter seperti alkaline fosfatase atau horseradish peroxidase. Antibodi sekunder ini kemudian akan menguatkan sinyal yang dihasilkan oleh antibodi primer.
Sekarang, proses deteksi dapat dilakukan dengan satu langkah saja, yaitu dengan menggunakan antibodi yang dapat mengenali protein yang diinginkan sekaligus memiliki label yang mudah dideteksi
a. Colorimetric detection
Metode ini digunakan bila substrat dapat bereaksi dengan reporter enzyme sehingga dapat mewarnai membran nitorselulosa
b. Chemiluminescent
Metode ini digunakan bila substrat merupakan molekul yang bila bereaksi dengan antibodi sekunder atu dengan reporter enzyme akan teriluminasi. Hasilnya kemudian diukur dengan densitometri untuk mengetahui jumlah protein yang terwarnai. Teknik terbarunya yang paking canggih disebut
Enhanced
Cheiluminescent (ECL). Teknik inilah yang paling banyak digunakan sekarang.
c. Radioactive detection
Metode ini menggunakan X-ray yang bila mengenai label akan menciptakan region gelap. Namun metode ini sangat maha dan beresiko tinggi terhadap kesehatan.
d. Fluorescent detection
Pelacak yang mmepunyai label yang dapat mengalami fluorosensi lalu kemudian dideteksi oleh fotosensor seperti kamera CCD yang menangkap image digital dari western blot. Hasil kemudian dapat dianalisi secara kuantitaif maupun kualitatif
Metode ini juga merupakan salah satu metode yang paling sering digunakan karena sangat sensitif.
c. Radioactive detection
Metode ini menggunakan X-ray yang bila mengenai label akan menciptakan region gelap. Namun metode ini sangat maha dan beresiko tinggi terhadap kesehatan.
d. Fluorescent detection
Pelacak yang mmepunyai label yang dapat mengalami fluorosensi lalu kemudian dideteksi oleh fotosensor seperti kamera CCD yang menangkap image digital dari western blot. Hasil kemudian dapat dianalisi secara kuantitaif maupun kualitatif
Metode ini juga merupakan salah satu metode yang paling sering digunakan karena sangat sensitif.
Pada uji wester
blot ini adalah untuk uji virus HIV.
HIV adalah
singkatan dari human immunodefisiency virus, yaitu virus yang menyerang sistem
kekebalan tubuh manusia sehingga membuat tubuh rentan terhadap berbagai
penyakit.
Acquired immune
deficisncy syndrome (AIDS) adalah suatu penyakit retrovirus yang disebabkan
oleh HIV dan ditandai dengan immunosupresi berat yang menimbulkan infeksi oportunitik.
Neoplasma sekunder dan munifestasi neurologis, HIV telah ditetapkan sebagai
agens penyebab AIDS. AIDS adalah suatu kumpulan kondisi klinis tertentu yang
merupakan hasil akhir dari infeksi virus HIV.
Defenisi AIDS yang telah ditetapkan oleh pusat pengendalian penyakit,
telah berubah beberapa waktu sejak gejala pertama ditemukan pada tahun 1981.
Secara umum defenisi ini menyusun suatu titik dalam kontinum penyimpangan HIV
dimana penjamu telah menunjukkan secara klinis disfungsi imun. Jumlah besar
infeksi oportunistik dan neoplasma merupakan tanda supresi imun berat sejak
tahun 1993. Definisi AIDS telah meliputi jumlah CD4 kurang dari 200 sebagai
criteria ambang batas. Sel CD4 adalah bagian dari limposit dan satu target sel
dari infeksi HIV.
A.
CARA PENULARAN HIV AIDS
Secara umum ada 5
faktor yang perlu diperhatikan pada penularan pada suatu penyakit yaitu: sumber
infeksi, vehikulum yang membawa agent host yang rentan, tempat keluar kuman dan
tempat masuknya kuman.
Cara penularan HIV
yang diketahui adalah:
1.
Transmisi seksual
Penularan melalui
hubungan seksual baik homoseksual maupun heteroseksual merupakan penurunan
infeksi HIV yang paling sering terjadi.penularan ini berhubungan dengan semen
dan cairan vagina. Infeksi dapat ditularkan dari setiap pengidap infeksi HIV
tergantung pada pemilihan pasangan seks, jumlah pasang seks dan jenis hubungan
seks. Orang yang sering berhubungan seksual dengan berganti pasangan merupakan
kelompok yang beresiko tinggi infeksi virus HIV.
2.
Transmisi non
seksual
a.
Transmisi parenteral
Yaitu akibat penggunaan jarum suntik dan
alat tusuk lainnya (alat tindik) yang telah terkontaminasi, misalnya pada
penyalahgunaan narkotik suntik yang menggunakan jarum suntik yang tercemar
secara bersama-sama.
BAB III
KESIMPULAN
1. Western blot
adalah proses pemindahan protein dari gel hasil elektroforesis ke membran.
2.
Metode dari westrn blot.
a.
Penyiapan
sample dan pemberian antibodi antiprotein
b.
Elektrophoresis
menggunakan gel
c.
Transfer
ke membran filter
d.
Pewarnaan
dengan antibodi pewarna dan siap untuk dibaca
DAFTAR
PUSTAKA
1. Dessie A, Abera B, Walle F, Wolday D, Tamene W, Ethiop. Med. J.
2008; 46(1): 1-5.
2. Yeom JS, Ryu JB, Kang HJ, Kim S, Kim
YA, Ahn SY, Cha JE, Park JW. Evaluation of a new thirdgeneration ELISA for the
detection of HIV infection. Ann. Clin. Lab. Sci. Winter 2006; 36 (1):
73-8
3. Polywka S, Feldner J, Duttmann H, Laufs R. Diagnostic evaluation of a new
combined HIV p24 antigen and anti-HIV1/2/O screening assay. Clin. Lab.
2001; 47(7-8): 351-6.
4. Apetrei C, Loussert-Ajaka I, Descamp
SD, Damond F, Saragosti S, Brun-Vezinet F, Simon F. Lack of screening test
sensitivity during HIV-1 non-subtype B seroconversion . AIDS 1996; 14:
57-60. Barin F, Lahbabi Y, Buzelay L, Lejeune B, Baillou-Beaufils A, Denis F,
Mathiot C, M’Boup S, Vithayasai V, Dietrich U, Goudeau A. Diversity of antibody
binding to V3 peptides representing consensus sequences of HIV type 1 genotypes
A to an approach for HIV type 1 serological subtyping. AIDS
Res.Hum.Retroviruses 1996; 13: 1279-1289.
5. Foley B, Donegan E, Silitonga N, Wignall FS, Busch MP, and Delwart EL.
Importation of multiple HIV type 1 strains into West Papua, Indonesia (Irian
Jaya) AIDS Res Hum Retroviruses 2001; 17(17): 1655-1659.
6. Merati TP, Ryan C, TurnbĪ¼l S,
Wirawan DN, Otto B, Bakta IM, Crowe S. Subtipe HIV-1 di beberapa daerah di
Indonesia dan perannya sebagai petunjuk dinamika epidemic HIV. Jurnal
elektronik Universitas Udayana (online).
7. http://ejournal.unud.ac.id. 2008.